Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali mengingatkan pentingnya pelaksanaan hak penagihan bagi Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK), termasuk penyedia layanan fintech peer-to-peer (P2P) lending. Hal ini seiring dengan meningkatnya kasus kredit macet yang akhir-akhir ini kian membebani industri tanaman fintech di Indonesia, Jumat, 21 Februari 2025.
Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku PUJK, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, menekankan bahwa konsumen yang memanfaatkan layanan keuangan, khususnya dalam bentuk kredit atau pembiayaan, wajib mengembalikan pinjaman sesuai perjanjian yang telah disepakati. “Kondisi gagal bayar adalah salah satu bentuk wanprestasi konsumen yang pada akhirnya memberikan hak bagi PUJK untuk melakukan penagihan dan bahkan eksekusi jaminan,” ujar Friderica dalam pertemuan tahunan Industri Jasa Keuangan 2025 yang berlangsung pada Kamis, 20 Februari.
Mengacu pada undang-undang yang ada, Friderica menyatakan bahwa OJK memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa hak dan kewajiban dari PUJK dan konsumen dilaksanakan dengan benar. “Satu kewajiban konsumen adalah membayar sesuai dengan nilai/harga dan/atau biaya produk dan/atau layanan yang disepakati dengan PUJK, sedangkan hak PUJK adalah menerima pembayaran tersebut,” jelasnya lebih lanjut.
Poin-poin ketentuan mengenai hak dan kewajiban ini kemudian dituangkan dalam Peraturan OJK (POJK) 22 Tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. Peraturan ini mengatur tata cara penagihan serta pengambilalihan atau penarikan agunan dari konsumen yang gagal bayar. Ketentuan ini diharapkan dapat menjadi acuan sekaligus pedoman bagi PUJK dalam menindaklanjuti kasus kredit macet.
Selain menegakkan aturan-aturan tersebut, OJK mendorong PUJK untuk lebih cermat dalam menganalisis kesesuaian antara kebutuhan dan kemampuan bayar konsumen. “Analisis yang tepat dan mendalam dapat memitigasi risiko gagal bayar sejak dini. Produk keuangan, khususnya kredit atau pembiayaan, harus didasarkan pada iktikad baik, termasuk kemampuan bayar dari konsumen,” tambah Friderica.
Selain itu, edukasi juga menjadi pilar penting bagi OJK dalam mendukung transparansi dan tanggung jawab konsumen atas pinjaman mereka. Selalu ada penekanan pada pemahaman mengenai risiko dan dampak jika konsumen tidak memenuhi kewajiban pembayaran, yang salah satunya adalah catatan buruk di Pusat Data Fintech Lending (Pusdafil). “Imbasnya, konsumen dan masyarakat yang memiliki catatan buruk di Pusdafil akan mengalami kesulitan ketika ingin melakukan pinjaman kembali atau ketika ingin melamar pekerjaan di perusahaan yang memeriksa riwayat kredit mereka,” Friderica menambahkan.
Situasi saat ini menunjukkan bahwa tingkat pembiayaan bermasalah dalam industri fintech P2P lending pada akhir Desember 2024 mencapai angka mengejutkan, yakni Rp 2,01 triliun. Dari jumlah ini, penyumbang terbesar berasal dari peminjam individu dengan kontribusi mencapai 74,74%. Menyoroti statistik lebih lanjut, borrower atau peminjam dari kelompok usia 19-34 tahun mencatatkan kredit macet sebesar 52,01%, sementara kelompok usia 35-54 tahun menyumbang 41,49%.
Tingginya rasio kredit macet di kalangan individu ini disebabkan oleh sejumlah faktor, salah satunya adalah rendahnya kemampuan bayar borrower. Situasi ini memberikan gambaran betapa pentingnya peran PUJK dalam memberikan analisis kredit yang lebih mendalam serta edukasi yang berkelanjutan kepada konsumen mengenai tanggung jawab keuangan mereka.
Pada akhirnya, OJK menegaskan kembali komitmennya untuk menciptakan ekosistem keuangan yang sehat dan bertanggung jawab, di mana baik PUJK maupun konsumen memahami dan menjalankan hak serta kewajibannya masing-masing. Friderica menutup pernyataannya dengan menekankan bahwa perilaku finansial yang bertanggung jawab tidak hanya meningkatkan kesehatan ekonomi individual tetapi juga berkontribusi pada stabilitas ekonomi nasional secara keseluruhan.