Hari Migran Internasional Dorong Perlindungan dan Vokasi PMI

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:38:00 WIB
Hari Migran Internasional Dorong Perlindungan dan Vokasi PMI

JAKARTA - Peringatan Hari Migran Internasional menjadi momentum refleksi bagi banyak pihak untuk kembali menyoroti nasib Pekerja Migran Indonesia (PMI), terutama generasi muda yang semakin tertarik bekerja di luar negeri. Di tengah peluang besar yang terbuka, ancaman eksploitasi, perdagangan orang, hingga ketidakadilan kontrak kerja masih membayangi. 

Karena itu, penguatan pendidikan vokasi dan perlindungan hukum dinilai menjadi kunci agar migrasi tenaga kerja Indonesia berlangsung aman, bermartabat, dan berkelanjutan.

Isu tersebut mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Vokasi dan Migrasi Aman 2026: Menyiapkan Generasi Muda Indonesia Menjadi Talenta Global yang Dilindungi Negara” yang digelar Jaringan Aktivis Nusantara (JAN) di Jakarta Pusat. 

Diskusi yang dihadiri ratusan peserta dari kalangan aktivis, akademisi, serta perwakilan pemerintah itu menekankan pentingnya sinergi antara pendidikan vokasi dan sistem perlindungan PMI. Langkah ini dipandang sejalan dengan visi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam menciptakan sumber daya manusia unggul yang mampu bersaing secara global namun tetap terlindungi oleh negara.

Pendidikan Vokasi sebagai Fondasi Migrasi Aman

Koordinator Nasional JAN, Romadhon Jasn, menegaskan bahwa migrasi tenaga kerja tidak dapat dilepaskan dari kesiapan sumber daya manusia. Menurutnya, pendidikan vokasi memiliki peran strategis dalam membekali generasi muda dengan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja internasional.

“Kita harus memastikan bahwa talenta muda Indonesia tidak hanya kompetitif secara global, tetapi juga terlindung dari eksploitasi,” kata Romadhon.

Ia menilai negara perlu hadir lebih kuat dalam menyediakan pendidikan vokasi yang berkualitas sekaligus mekanisme perlindungan hukum yang jelas. Hal ini menjadi semakin penting seiring target penempatan 500.000 PMI pada 2026. Tanpa fondasi vokasi yang kokoh, target tersebut dikhawatirkan justru membuka ruang kerentanan baru bagi calon pekerja migran, khususnya dari kalangan usia muda.

Literasi Hukum untuk Mencegah Eksploitasi PMI

Persoalan lain yang mengemuka dalam diskusi adalah minimnya pemahaman hukum di kalangan calon PMI. Peduli Hukum Pekerja Migran, Achmad Musa, menilai banyak lulusan vokasi yang akhirnya terjebak dalam kontrak kerja tidak adil karena kurangnya literasi hukum.

“Pendidikan vokasi harus menyertakan modul hukum ketenagakerjaan internasional, agar PMI memahami hak mereka sejak dini,” tegas Achmad.

Ia menyoroti masih maraknya kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menimpa migran muda. Menurutnya, integrasi kurikulum vokasi dengan regulasi Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menjadi langkah penting untuk mencegah praktik tersebut. 

Dengan pemahaman hukum yang memadai, PMI diharapkan lebih berani menolak skema kerja yang merugikan dan mampu melindungi dirinya sejak tahap pra-keberangkatan.

Perspektif Gender dalam Perlindungan Pekerja Migran

Isu kerentanan perempuan migran juga menjadi perhatian serius dalam diskusi tersebut. Tokoh perempuan yang konsisten mengadvokasi isu gender dalam migrasi, Nindi Arini, menegaskan bahwa perempuan PMI kerap menghadapi risiko berlapis, mulai dari diskriminasi hingga kekerasan di negara tujuan.

“Generasi muda perempuan perlu dilengkapi dengan keterampilan vokasi yang inklusif, termasuk pelatihan anti-eksploitasi dan literasi keuangan,” paparnya.

Nindi menekankan pentingnya kebijakan khusus bagi perempuan PMI, seperti akses remitansi yang aman serta dukungan psikososial. Menurutnya, perlindungan tersebut akan membantu perempuan migran menjadi talenta global yang mandiri dan terlindungi. Ia juga menyoroti pentingnya perspektif gender dalam reformasi kebijakan pelindungan PMI.

“Di bawah Menteri Mukhtarudin, kita harapkan kebijakan yang lebih sensitif terhadap perempuan migran, termasuk pencegahan TPPO berbasis gender,” ujarnya.

Nindi memuji komitmen menteri dalam diplomasi bilateral yang telah menyelamatkan ratusan PMI dari kasus hukum di luar negeri, sekaligus mendorong perluasan representasi politik bagi diaspora Indonesia.

Keberlanjutan Perlindungan dan Peran Negara

Pengamat migran independen Imam Rohmat menambahkan bahwa migrasi tenaga kerja seharusnya dipandang sebagai investasi jangka panjang, bukan sekadar pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Menurutnya, keberlanjutan perlindungan PMI sangat bergantung pada kolaborasi antara pendidikan vokasi, pemerintah, dan sektor swasta.

“Migrasi bukan sekadar pengiriman tenaga kerja, tapi investasi jangka panjang. Keberlanjutan ini bergantung pada kolaborasi antara vokasi, pemerintah, dan swasta,” jelas Imam.

Ia mengusulkan evaluasi berkala terhadap program SMK Go Global agar tetap adaptif dengan dinamika pasar kerja internasional. Imam juga menilai penguatan peran Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) Mukhtarudin menjadi faktor penting dalam reformasi sistem perlindungan PMI.

“Menteri Mukhtarudin harus terus memperbaiki sistem perlindungan PMI, mulai dari pra-keberangkatan hingga pemulangan,” ucapnya.

Menurut Imam, keberlanjutan kebijakan menjadi kunci agar target penempatan PMI pada 2026 tidak hanya berorientasi pada kuantitas, tetapi juga kualitas. Ia mencontohkan potensi kolaborasi dengan negara mitra seperti Jepang dan Korea Selatan untuk pelatihan berkelanjutan yang dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai penyedia talenta global.

Diskusi tersebut juga menilai perlunya pembentukan daerah pemilihan khusus bagi PMI di luar negeri serta evaluasi terhadap Bursa Kerja Khusus. Para peserta sepakat bahwa peringatan Hari Migran Internasional harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk terus berinovasi.

“Kami berkomitmen mendukung Menteri Mukhtarudin dalam mewujudkan migrasi aman dan bermartabat,” tegas Romadhon.

Terkini