JAKARTA - Indonesia memiliki salah satu cadangan panas bumi terbesar di dunia, berada di posisi kedua setelah Amerika Serikat, dengan potensi mencapai 23,74 gigawatt (GW). Potensi ini seharusnya bisa menjadi motor penggerak utama pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Tanah Air.
Namun, pengembangan panas bumi masih menghadapi kendala signifikan, terutama terkait infrastruktur dan dukungan kebijakan yang memadai.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menekankan bahwa Indonesia memiliki peluang besar dalam memanfaatkan panas bumi, tetapi belum dioptimalkan.
“Indonesia memiliki potensi panas bumi yang besar dan ini bisa menjadi kekuatan. Tetapi, hingga saat ini belum dioptimalkan karena banyaknya permasalahan yang dihadapi, seperti ketersediaan infrastruktur untuk menuju ke panas bumi tersebut,” kata Fahmy.
Menurut Fahmy, percepatan pengembangan panas bumi membutuhkan perhatian pemerintah, khususnya dalam membangun infrastruktur dan interkoneksi antarpulau agar pasokan listrik bisa seimbang dengan permintaan. Jika hal ini dibebankan sepenuhnya pada investor, modal yang dibutuhkan akan sangat besar. Dengan infrastruktur yang memadai, potensi panas bumi Indonesia akan lebih menarik bagi investor untuk dikembangkan.
Target dan Realisasi Panas Bumi di Indonesia
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 42,5 GW dan pembangunan penyimpanan energi sebesar 10,2 GW, dengan 70 persen berasal dari energi terbarukan. Untuk panas bumi, dialokasikan tambahan kapasitas sebesar 5,2 GW, dengan proyeksi kapasitas terpasang mencapai 1,1 GW pada 2029.
Namun, realisasi energi baru dan terbarukan secara umum masih jauh dari target. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa sepanjang 2024, bauran EBT hanya mencapai 14,68 persen, di bawah target 19,5 persen.
Hingga Oktober 2025, kapasitas listrik berbasis energi bersih baru mencapai 14,4 persen dari total kapasitas nasional. Tri Winarno, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, menilai target bauran EBT sebesar 15,9 persen pada 2025 sulit tercapai karena pengembangan EBT masih perlu dipercepat dan sistem pembangkit nasional masih didominasi energi fosil, terutama batu bara.
Belajar dari Amerika Serikat
Amerika Serikat menjadi contoh pemanfaatan panas bumi secara optimal. Negara ini memiliki kapasitas terpasang panas bumi terbesar di dunia, mencapai 3,93 GW, dan semakin agresif dalam pengembangannya.
Energi panas bumi yang bebas emisi karbon diminati perusahaan teknologi besar yang membutuhkan listrik stabil dan rendah emisi, seperti Meta dan Google.
Berbeda dengan energi surya atau angin yang bergantung pada cuaca, panas bumi tersedia secara terus-menerus sepanjang waktu. Google, misalnya, pada tahun 2023 mengumumkan inisiatif pemanfaatan energi panas bumi tingkat lanjut untuk operasional pusat data mereka, menandai langkah signifikan dalam transisi energi sektor teknologi.
Hal ini menunjukkan bahwa panas bumi bukan hanya sumber energi bersih, tetapi juga strategis untuk sektor industri yang memerlukan pasokan listrik andal.
Momentum Strategis untuk Transisi Energi Nasional
Potensi panas bumi Indonesia tidak hanya besar secara angka, tetapi juga strategis untuk mendukung target Net Zero Emission 2060. Namun, tanpa dukungan kebijakan dan pembangunan infrastruktur yang terencana, potensi tersebut akan tetap menjadi potensi semata.
Keterlibatan aktif pemerintah dalam penyediaan infrastruktur dasar dan penyederhanaan regulasi menjadi kunci untuk menarik investasi dan mempercepat pengembangan panas bumi.
Kolaborasi lintas sektor, termasuk akademisi, industri, dan masyarakat sipil, sangat penting dalam menjadikan panas bumi sebagai pilar utama transisi energi nasional.
Selain mengurangi ketergantungan pada energi fosil, pengembangan panas bumi juga dapat menambah kapasitas listrik yang stabil dan ramah lingkungan, sekaligus mendorong inovasi teknologi energi terbarukan di Indonesia.
Dengan langkah strategis, pengembangan panas bumi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi hijau, meningkatkan ketersediaan listrik di wilayah terpencil, dan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara dengan potensi energi terbarukan terbesar di dunia. Optimalisasi potensi ini membutuhkan keseimbangan antara kebijakan, investasi, dan teknologi agar manfaatnya dapat dirasakan secara luas bagi masyarakat dan industri.