Penataan Hutan Jadi Kunci Tata Kelola Sawit Nasional

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:09:15 WIB
Penataan Hutan Jadi Kunci Tata Kelola Sawit Nasional

JAKARTA - Pemerintah tengah memperkuat upaya penataan kawasan hutan melalui pembentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dan penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2025 (PP 45/2025). Langkah ini bertujuan memperbaiki tata kelola hutan nasional, namun dalam praktiknya menimbulkan tantangan tersendiri bagi petani sawit rakyat.

Pakar lingkungan dan kehutanan, Petrus Gunarso, PhD, menilai penertiban kawasan hutan adalah langkah penting, tetapi harus dilakukan secara hati-hati, adil, dan berlandaskan kepastian hukum. 

“Penertiban kawasan hutan memang penting, karena dalam praktiknya penetapan kawasan hutan selama ini tidak selalu dilakukan secara tertib,” kata Petrus.

Ia menekankan bahwa keberhasilan penataan kawasan hutan tidak hanya diukur dari aspek hukum, tetapi juga dari sejauh mana hak-hak masyarakat yang telah lama mengelola lahan diakui dan dilindungi. Hal ini menjadi penting mengingat sawit merupakan sumber penghidupan bagi jutaan petani kecil di Indonesia.

Tantangan Legitimasi dan Hak Masyarakat

Persoalan utama penataan kawasan hutan terletak pada proses penetapan yang belum selalu melalui tahapan lengkap sesuai UU No. 41 Tahun 1999, yakni penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan. Akibatnya, beberapa kawasan hutan yang sah secara hukum administratif belum sepenuhnya legitimate karena hak pihak ketiga belum diselesaikan.

“Banyak kawasan hutan yang secara hukum sah, tetapi belum sepenuhnya legitimate karena hak-hak pihak ketiga tidak diselesaikan pada saat proses penataan batas,” jelas Petrus. 

Hal ini menimbulkan risiko ketidakpastian hukum bagi petani sawit rakyat, yang selama bertahun-tahun telah mengelola lahan secara nyata dan beritikad baik.

Dampak pada Sektor Sawit dan Ekonomi Pedesaan

Dalam implementasi Satgas PKH, sektor perkebunan sawit menjadi salah satu yang paling terdampak. Petrus menilai penegakan hukum yang bertumpu pada batas kawasan hutan yang bermasalah bisa menimbulkan ketidakpastian baru. 

“Penegakan hukum seharusnya menggunakan dasar yang kuat dan legitimate, agar hasilnya benar-benar memperbaiki tata kelola, bukan justru menimbulkan persoalan lanjutan,” ujar Petrus.

Ia menekankan bahwa akses terhadap lahan merupakan fondasi ketahanan ekonomi masyarakat pedesaan. Berbagai kajian menunjukkan perkembangan perkebunan sawit di banyak daerah berkontribusi pada penurunan angka kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan. 

Oleh karena itu, kebijakan penertiban hutan perlu mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi secara seimbang, terutama bagi petani kecil yang menggantungkan hidup pada sawit.

Regulasi dan Keseimbangan Perlakuan

Terkait PP 45/2025, Petrus menilai regulasi tersebut belum secara jelas membedakan perlakuan antara korporasi besar dan petani kecil. Akibatnya, beban penyesuaian dan potensi pengalihan lahan bisa terasa berat bagi petani rakyat dan koperasi. Ia menekankan bahwa sawit berbeda dengan usaha ekstraktif lain karena tanaman ini memerlukan investasi jangka panjang.

Ketidakpastian di tingkat tapak juga bisa memengaruhi program strategis nasional, seperti peningkatan produksi CPO, percepatan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), dan penguatan program biodiesel. 

“Stabilitas pengelolaan kebun sangat penting untuk menjaga produktivitas dan keberlanjutan pasokan bahan baku,” kata Petrus.

Solusi Jangka Panjang dan Pendekatan Inklusif

Petrus berpendapat bahwa Satgas PKH idealnya menjadi instrumen penyelesaian jangka panjang yang bersifat menyeluruh. Koordinasi antar kementerian serta kebijakan transisi yang memberikan kepastian bagi masyarakat terdampak menjadi kunci keberhasilan. 

Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial dapat menjadi bagian dari solusi bagi petani yang berada di kawasan hutan namun telah mengelola lahan secara berkelanjutan.

Sebagai jalan tengah, Petrus mengusulkan pendekatan pengelolaan berbasis agroforestry bagi kebun sawit yang telah tertanam, kecuali yang berada di kawasan konservasi. Pendekatan ini dapat menjaga fungsi lingkungan sekaligus mempertahankan mata pencaharian masyarakat. 

“Jika penataan kawasan hutan dilakukan secara adil, legitimate, dan berpihak pada kepentingan rakyat, momentum ini bisa menjadi langkah penting menuju tata kelola sawit nasional yang lebih inklusif dan berkelanjutan,” tandasnya.

Terkini